Sebenarnya apa yang di inginkan orang papua
BERITA POLITIK INDONESIA HARI INI
Apa yang Sebenarnya Orang Papua Inginkan?
Berita Internasional > Apa yang Sebenarnya Orang Papua Inginkan?
Posted on August 2, 2020 at 1:43 PM
FacebookTwitterWhatsAppLineTelegramFacebook MessengerEmail
Papua Barat menolak “otonomi khusus” dan meminta kemerdekaan. Sementara pemerintah Indonesia memprioritaskan pendekatan kesejahteraan untuk Papua Barat.
Pada Selasa, 14 Juli, Antara News menerbitkan artikel Wakil Deputi Bidang Politik, Hukum, Keamanan, dan Hak Asasi Manusia dari Kantor Staf Presidensial, Jaleswari Pramodhawardani. Artikel tersebut menyoroti pendekatan pemerintah Joko “Jokowi” Widodo dalam menangani masalah Papua Barat.
Pramodhawardani menyatakan, pendekatan tersebut diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan guna mengatasi masalah utama yang berdampak pada provinsi Papua dan Papua Barat. Pernyataannya menyimpulkan Presiden Jokowi berencana untuk menyelesaikan masalah Papua Barat melalui berbagai program pembangunan. Menurut Pramodhawardani, kurangnya kesejahteraan menjadi akar masalah di Papua Barat.
Sepertinya pemerintah memiliki konsep dan definisi “kesejahteraan” yang berbeda untuk orang Papua, menurut Yamin Kogoya, dalam tulisannya di Scoop. Kogoya merasa Pramodhawardani menggambarkan pendekatan pemerintah Indonesia untuk mengevaluasi kesejahteraan orang Papua sebagai “antropologis”.
Baca Juga: Hari Ini dalam Sejarah: 40 Tahun Merdeka, Vanuatu Sahabat Papua
Menurut Kogoya, untuk melakukan pendekatan antropologis, dia harus tahu dan memahami budaya dan orang-orang yang mereka pelajari, yang jauh dari sikap pemerintah Indonesia dan pemerintah yang mencoba untuk mengendalikan dan membungkam rakyat daripada memelihara komunitas mereka. Lagi pula, bukankah antropologi adalah cabang ilmu yang memahami secara mendalam tentang orang-orang dalam budaya mereka?
Pramodhawardani menyatakan Presiden Jokowi telah “mengadopsi pendekatan kesejahteraan melalui berbagai bentuk pembangunan,” berusaha untuk mendiagnosis penyebab masalah di Papua Barat dengan menyalahkan orang-orang yang trauma itu sendiri, trauma yang disebabkan oleh pemerintah mereka sendiri.
Ini adalah retorika khas xenophobia yang digunakan sepanjang sejarah penjajahan: penjajah dengan meremehkan memandang yang terjajah, memperlakukan mereka sebagai primitif atau biadab, dan menghubungkan penderitaan mereka dengan kurangnya perkembangan. Pemerintah Indonesia ibarat menyuntikkan Papua Barat dengan virus dan kemudian menyalahkan orang-orang saat mereka sakit, lalu mencoba untuk menawarkan solusi atau obat untuk virus yang mereka buat sendiri.
Bagaimana orang Papua bisa mempercayai pemerintah ketika pemerintah Indonesia tidak tertarik untuk memahami dan berhubungan dengan orang-orang yang seharusnya mereka lindungi? Bagaimana orang Papua dapat menaruh kepercayaan pada program yang dirancang oleh lembaga yang telah menyebabkan puluhan tahun trauma fisik, psikologis, dan emosional? Bahkan, Kogoya berpendapat, Presiden Jokowi memahami arti dari istilah “kesejahteraan”.
Sementara ketidakstabilan di Papua dan Papua Barat dapat dikaitkan dengan kurangnya infrastruktur yang berkualitas, kesulitan ekonomi, dan pendidikan dan kesehatan yang buruk, ini masih belum menentukan akar masalah. Ketidakstabilan ini hanyalah gejala – gejala penyakit yang mengalir melalui vena yang lebih dalam.
Pramodhawardani mengatakan, “kita tahu orang melihat Papua Barat hanya dalam hal masalah hak asasi manusia dan kekerasan,” dan menyinggung ada sedikit perhatian dalam memenuhi “hak dasar” orang Papua.
Dalam pernyataan ini, ia mengakui masyarakat internasional sadar akan pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh pemerintah, dan pemerintah Indonesia mengakui dampak kebijakan represif yang telah mereka lakukan pada orang Papua selama beberapa dekade. Sekali lagi, Kogoya menekankan, pemerintah Indonesia gagal dalam setiap kesempatan untuk melihat kemunafikan dalam tindakan mereka, mereka berpura-pura mengadvokasi “hak asasi manusia” yang telah mereka langgar berkali-kali.
Program kesejahteraan ini mencerminkan penolakan pemerintah untuk mengakui bagaimana politik mereka yang menindas dan mengganggu itu dipersalahkan atas keadaan Papua dan kekacauan di sana saat ini. Pemerintah yakin mereka tahu apa yang terbaik padahal ada rekam jejak yang menunjukkan bahwa mereka sebenarnya tidak tahu.
Menurut Kogoya, tekanan pada orang Papua untuk menyerah pada cara-cara dunia “beradab” atau “kebarat-baratan” tidak beralasan. Pemerintah berupaya memanipulasi orang-orang melalui program kesejahteraan ini dan melepaskan budaya mereka. Orang Papua memiliki hak untuk menjadi manusia, dan hak untuk menjadi orang Papua. Mereka memiliki hak untuk dihormati di tanah leluhur mereka.
Pandangan pemerintah tentang apa artinya menjadi manusia diabadikan dalam Pancasila, yang salah satu silanya menyatakan, “kemanusiaan yang adil dan beradab.” Jika pemerintah bisa menerapkan prinsip Pancasila ke dalam rencana mereka untuk Papua, maka ada harapan. Para elit Pemerintah ini bersalah karena tidak mempraktikkan apa yang mereka khotbahkan kepada orang Papua, tulis Kogoya.
Misi untuk “membudayakan” orang Papua ini telah menghancurkan suku bangsa pertama yang tak terhitung jumlahnya di seluruh dunia (budaya sakral, agama, ritual, bahasa, dan cara hidup) dunia lama yang penuh dengan budaya yang kaya, semuanya hilang atas nama kemajuan. Inilah sebabnya mengapa pemerintah tidak mungkin memperbaiki masalah di Papua Barat sampai mereka mengakui bagaimana misi penjajahan mereka telah merusak orang Papua, berupaya untuk memahami cara hidup orang Papua, dan menghormati budaya mereka tanpa merasa perlu untuk mengubahnya. Perlu ada perubahan mendasar dalam cara mereka berpikir tentang kemanusiaan di Papua Barat.
Dengan wawasan yang telah berubah, pendekatan antropologis untuk kesejahteraan orang Papua dapat sepenuhnya diwujudkan. Namun, jika ketidaktahuan pemerintah berlanjut, tidak ada harapan untuk perubahan.
Orang Papua muak dengan pendekatan “top-down” selama beberapa dekade. Tidak heran, mengapa orang Papua curiga, dan sangat menentang, program pembangunan yang coba disamarkan pemerintah seperti Kuda Troya yang disebut “otonomi khusus”.
Seorang warga Papua memegang bendera Bintang Kejora selama pemakaman pemimpin kemerdekaan terkemuka, Theys Eluay, yang meninggal pada tahun 2001. Mereka yang mengibarkan bendera tersebut berisiko dijatuhi hukuman penjara selama 15 tahun (Foto: Reuters/Darren Whiteside)
Baca Juga: Diterjang Pandemi, Ini Kunci Pemulihan UMKM Indonesia
Otonomi khusus 2021 dianggap sebagai solusi instan pemerintah untuk tuntutan kemerdekaan Papua Barat yang sebagian besar telah ditolak oleh orang Papua. Ketika pemerintah bergerak untuk memperluas kebijakan otonomi khusus ini, Alya Nurbaiti menulis di The Jakarta Post pada 7 Juli, bahwa kelompok-kelompok Papua bersatu untuk menyuarakan oposisi kuat mereka terhadap rencana ini. Suarapapua.com, situs media lokal yang berbasis di Jayapura, juga melaporkan pada 22 Juli bahwa masyarakat Papua (termasuk gubernur, ULMWP, gereja, perempuan, kelompok pemuda, dan TPNPB) bersatu untuk menolak perpanjangan otonomi khusus.
Jika pemerintah Indonesia benar-benar serius menerapkan pengetahuan antropologis ke arah pendekatan kesejahteraan mereka, menurut Kogoya, maka mereka harus berusaha memahami sejarah rakyat, seperti orang Melanesia yang tinggal di Papua Barat.
Seperti yang diutarakan oleh peneliti PhD Sri Lestari Wahyuningroem dari Australian National University di The Jakarta Post pada Jumat, 31 Mei 2013:
“Cinta posesif kami terhadap Papua menghalangi keinginan kami untuk memahami orang Papua. Untuk mendengarkan kisah mereka dan berkomitmen untuk membela hak-hak mereka, kami bersikeras untuk menerima citra orang Papua tentang diri mereka sendiri. Tidak ada ‘orang Papua’ karena Papua adalah Indonesia. Papua adalah kita, meskipun dalam kenyataannya orang Papua selalu dipandang dan diperlakukan sebagai orang lain. Apa yang kita rasakan tentang Papua bukanlah cinta. Ini adalah kegilaan”.
“Cinta sejati”, menurut Sosiolog Thomas Scheff, “membutuhkan pengetahuan terperinci tentang yang dicinta”.
Desakan pemerintah Indonesia untuk memaksakan perpanjangan otonomi khusus ke Papua akan memicu protes yang lebih keras dan bahkan kematian. Kogoya berpendapat, pemerintah terus mendekati Papua Barat dengan pandangan paternalistik, dengan mengasumsikan apa yang terbaik untuk komunitas yang tidak pernah mereka libatkan dalam perundingan. Suara dan tindakan orang Papua akan terus berbicara lebih keras sampai mereka didengar.
Baik angka dan statistik Pramodhawardani tidak ditarik dari Indeks Pembangunan Manusia untuk mengukur kesejahteraan orang Papua, atau instruksi presiden atau keputusan untuk “memperbaiki” Papua Barat akan mengarah pada kepuasan masyarakat.
Menilai dan memelihara kehidupan manusia tidak dapat dicapai hanya dengan pengukuran, statistik, atau rencana perkembangan. Orang Papua menginginkan empati dari pemerintah yang acuh tak acuh. Mereka akan terus menolak “misi peradaban” sampai pemerintah Indonesia mengalah dan mengembalikan suara Papua, tulis Kogoya di Scoop.
Sebagaimana dinyatakan oleh Victor Yeimo, orang Papua harus menjadi pihak yang menentukan apakah mereka menginginkan otonomi khusus atau kemerdekaan tahap kedua, dan pemerintah Indonesia harus memfasilitasi pemungutan suara yang diawasi internasional untuk menentukan hal ini.
Jika tidak, melalui semua upaya yang gagal untuk membujuk orang Papua ke “rasa aman yang salah”, pemerintah Indonesia akan terus gagal mengajukan pertanyaan paling mendasar: apa yang sebenarnya diinginkan orang Papua
Editor: Purnama Albert Giban
Keterangan foto utama: Seorang pelajar Papua dengan
Rasa sakit di persendian anda akan hilang selamanya
Bagaimana cara mengembalikan penglihatan 100% tanpa operasi?
RELATED ITEMS:ISU PAPUA, KEMERDEKAAN PAPUA, KONFLIK PAPUA, PAPUA, PELANGGARAN HAM DI PAPUA
BERLANGGANAN